Beberapa ruas bertanya ke penulis pengertian istilah “Sisuan Bulu”. Karena menurut mereka istilah tersebut mereka dengar ada di beberapa gereja HKBP. Saya berupaya mengklarifikasi di gereja mana istilah tersebut mereka dengar. Namun dijawab diplomatis adalah masa amang tidak pernah dengar?. Memang di gereja kita tidak ada tapi adalah gereja lain.
Agak sulit menjawab hal tersebut, karena hal ini sesuatu yang “rawan” untuk di bahas. Di sisi lain sepanjang yang penulis ketahui, dalam urusan bergereja kuranglah tepat istilah sisuan bulu. Barangkali lebih tepat bila disebut jemaat mula-mula.
Jujur penulis pun penasaran untuk mencari tahu apa definisi si suan bulu. Puji Tuhan, akhirnya kami temukan tulisan yang relevan dengan hal tersebut di blog-nya amang Pdt. Adven Leonard Nababan, D.Min yakni:
http://haumanarata.wordpress.com/2009/12/09/jabatan-tohonan-sintua-majelis-di-hkbp/
Berikut petikannya (detil silahkan klik link diatas):
Setiap kampung mempunyai pemimpin yang disebut “raja huta”. Raja huta ini adalah orang yang memprakarsai pembukaan ”huta” yang baru dan dia disebut juga sebagai ”sipungka huta” atau ”sisuan bulu”. Gelar ”sisuan bulu” disebut karena setiap kampung baru diawali dengan menanam bambu disekitar kampung sebagai pagar atau benteng kampung. Raja huta ini bukan merupakan penguasa tunggal dan tertinggi tetapi dalam penyelenggaraan kepemimpinan teritorial dan pemerintahan dia bersama dengan sejumlah ”pangitua ni huta” (sesepuh atau pemuka masyarakat) sehingga kepemimpinan huta bersifat kolektif bukan partial. Struktur ini jugalah yang mempengaruhi kehidupan bergereja orang Batak.
Secara tradisional orang Batak sudah mengenal jabatan “pangituai ni huta” yang kemudian mempengaruhi pengertian jabatan “sintua” di dalam gereja. Seorang yang memangku jabatan “pangituai ni huta” adalah orang yang dianggap mempunyai “sahala” (wibawa, kuasa, kemahiran, kemewahan) dan itu ditentukan jikalau dia sanggup membangun kampung baru, menang berjudi, menang berperang atau berperkara, mahir bersoal jawab. Hal ini mempengaruhi jabatan “parhalado” sebagai sebutan kepada yang menyandang “tohonan”, “sahala” di gereja HKBP. Dalam pengertiannya “parhalado” itu berasal dari kata “halado” yang berarti melayani, mengurusi, menunggui”.
Dalam dasawarsa pertama tugas seorang sintua sangat berat membantu missionaris, tetapi dengan semakin mantapnya kekuasaan-kekuasaan kolonial maka jabatan itu menjadi suatu ”jabatan yang disukai” karena pada umunya diakui sebagai orang-orang terhormat dan dibebaskan dari kewajiban rodi oleh pemerintahan kolonial (bebas pajak). Dan inilah salah satu alasan atau motif terkuat bagi banyak orang Batak mau menjadi sintua. Pada mulanya para penatua jemaat diangkat untuk dua tahun dan dalam perkembangan selanjutnya jabatan penatua menjadi kedudukan seumur hidup.
Semoga copy posting tulisan ini dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Teriring Salam dan Doa
St. Sampe Sitorus, SE
Read Full Post »